mengapa kau salahkan aku?
bukankah aku tak pernah memintamu seperti ini?
justru aku melarangmu, bukan?
biarkan aku pergi,boleh ya?
bukankah kau mencintaiku?
jadi mengapa tak kau biarkan aku bahagia?
kenapa kau mengorbankan hal yang tak kupinta?
salahkah caraku bicara padamu selama ini?
jadi aku harus bagaimana?
pahamkah kau kalau aku ingin sendiri?
Minggu, 30 Agustus 2009
???
Diposting oleh NiRaFi45'sbLog di 07.42 0 komentar
Subhanallah...
Subhanallah...
Maha Suci Allah yang Maha Mensucikan
Sucikan ruh ini Ya Rabbana...
Sucikan jiwa ini
yang sejatinya hanya mahluk-Mu yang begitu kotor
Amin...
Diposting oleh NiRaFi45'sbLog di 06.28 0 komentar
Senin, 17 Agustus 2009
masa lalu
duhai yang mulutya terkunci...
terkunci jugakah hatimu?
kuharap tidak
satu kesempatan saja
tak akan kusiakan lagi...
Diposting oleh NiRaFi45'sbLog di 22.25 0 komentar
Kamis, 13 Agustus 2009
obat hati
hai, aku si obat hati
beli aku di apotek pikiran positif
alamatnya...
di jalan optimis no 1
kelurahan pantang menyerah
kecamatan sabar
kabupaten do'a tanpa henti
provinsi tawakal
negeri hidup penuh makna
selamat mencoba!
Diposting oleh NiRaFi45'sbLog di 01.06 0 komentar
Awal Agustus Kelabu
bagaimana tidak aku berkata demikian... guru hidupku, inspirasi pertama yang membuatku tertarik pada dunia seni dan sastra, telah kembali ke pangkuan Yang Maha Abadi. . .
duhai guruku, idolaku, inspirasiku, kutitip bait-bait do'a untukmu. semoga yang terbaik selalu untukmu di sisi-Nya. amin...
aku, murid yang tak pernah kau jumpai, tapi selalu kau kasihi lewat karyamu yang menggetarkan hati, menyampaikan rasa cinta dan hormatku padamu.
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.
Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Diposting oleh NiRaFi45'sbLog di 00.26 0 komentar
Minggu, 02 Agustus 2009
Si Beruntung yang Selalu Dijaga Tuhan
aku gadis berusia 18 tahun. aku lahir dari sebuah keluarga sederhana yang sangat memanjakanku. dari kecil, sedikit-sedikit aku membuat bangga keluargaku dengan prestasi yang aku toreh. tapi dari kecil pula, aku begitu sering merepotkan mereka karena tubuhku yang rentan sakit. dari yang ringan yang hanya cukup istirahat selama tiga hari, sampai yang paling parah yang mengharuskanku tergolek lemah selama lebih dari satu bulan.
si sakit inipun akhhirnya lulus sekolah dasar dengan nilai yang mengagumkan dan masuk ke sebuah Sekolah Menengah Pertama yang nomor wahid di kabupatenku. di sini, banyak hal baru yang aku temukan.dan di sini pulalah aku mulai berkarya,menapaki jejak langkah baru dalam hidupku. di sekolahku tercinta ini, aku mulai tahu siapa aku dan untuk apa aku ada. tentu saja semua terjadi tak lepas dari dukungan ibunda tercinta, ayah tersayang,dan kakakku yang terhebat.
segala yang menyibukanku di sekolah ini membuat aku sering lupa bahwa tubuhku tak sekuat teman-temanku. sering aku terjatuh saat aku mengikuti kegiatan di sekolahku ini. tapi aku kemudian seolah tak peduli setelah aku kembali pulih. dan setelah itu, simsalabim! aku bagai tak sakit apa-apa.
tapi di akhir masa sekolahku di sini, aku merasa ada sesuatu yang jahat yang sedang menggerogoti tubuhku. tapi sekali lagi, aku tak begitu peduli!
aku lulus SMP! betapa bangganya aku, karena kini seragam putih-abu yang terlihat begitu gagah telah kusandang di tubuhku. tapi ada yang semakin ganjal di tubuhku. aku menjadi kian lemah dan sering jatuh pingsan tanpa sebab yang terlalu penting atau membahayakan. begitu banyak bagian tubuhku yang sering terasa sakit, mulai dari kepala, kaki, lambung, dan lainnya.
aku pun akhirnya memeriksakan diriku pada seorang dokter ahli rujukan dari dokter umum yang sudah berkali-kali tak mampu mengatasi penyakitku. dan sebuah vonis menakutkan aku terima saat aku memeriksakan diri pada sang dokter ahli itu. penyakit ini rasanya bagai monster yang mengintai dan siap menghancurkan hidupku yang t'lah kutata demikian indah dengan segala asa dan mimpiku.
hidup harus terus berlanjut! itulah yang jadi peganganku saat itu. apapun resikonya, aku harus terus berjuang meraih apa yang telah kugantungkan di langit impianku. meski puluhan kali atau mungkin ratusan kali aku harus pingsan di sekolah, merepotkan semua orang, terkulai lemah di rumah sakit, dan terancam tak akan naik kelas karena sering absen, aku tak mau berhenti sampai di sini. karena bagiku Tuhan pasti menolongku dan Tuhan tak akan suka kalau aku berhenti begitu saja.
untuk pertama kalinya aku terpuruk di bidang akademis, bahkan ada nilai merah mampir di raportku. tapi setidaknya, aku naik kelas dan masuk jurusan yang sesuai dengan minatku dari kecil:BAHASA!
dan di sinilah aku mulai bangkit dan menata ulang kehidupanku. aku sadar dengan keterbatasanku karena penyakit ini. makanya aku sangat berhati-hati dan berusaha sekuat tenaga untuk sembuh. aku jauhkan diriku dari berbagai pola hidup tak sehat dan sembarangan seperti dulu. aku juga lebih banyak memikirkan kesehatanku dan tak asal lagi dalam melakukan berbagai hal yang sekiranya membahayakan kesehatanku. aku berjuang semampuku. dengan keterbatasan ini aku belajar dengan keras, dan masih sesekali aku melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan. aku masih aktif di berberapa kegiatan sekolah dan mengikuti berbagai perlombaan. meski tak semulus dulu waktu aku masih sehat, tapi aku cukup puas dengan hasilnya. dan alhamdulillah,aku,si sakit ini ternyata diakui sebagai salah satu bagian penting di sekolahku. meski sebenarnya tak banyak yang aku lakukan untuk sekolah ini.
tak terasa waktu berlari menarikku untuk menatap masa depan. aku kelas Tiga SMA sekarang. ujian negara yang menentukan masa depanku itu siap menanti di depan mata. sekolahku, seperti sekolah-sekolah lainnya menyiapkan berbagai persiapan. salah satunya adalah Try Out Ujian Nasional. dan sebuah kejadian menakutkan terjadi. aku tak bisa menghitamkan lembar jawab komputer yang tersedia! entah kenapa dan dari mana awalnya, tapi yang pasti lembar jawabku kacau oleh tanganku sendiri. aku tak tahu ini apa,tapi yang jelas tanganku tak mampu untuk bergerak halus menghitamkan lembar jawab itu. dan ternyata itu adalah salah satu dampak dari penyakit yang aku alami. aku takut, cemas, dan merasa terancam. bagaimana aku menghadapi ujian nanti? haruskah aku tak lulus hanya karena tanganku tak mampu mengendalikan rasa sakit akibat penyakit ini?
beruntunglah, aku tak sendiri. orang tua, teman, dan guru-guruku selalu mendukung dan membesarkan hatiku. meskipun ada beberapa orang yang menuduhku mengada-ada semua ini. padahal, untuk apa aku berbohong? tak ada untungnya kan? tapi begitulah manusia.
Unian Nasional yang aku takuti itupun tiba juga untuk kuhadapi. akhirnya, aku dapat dispensasi dengan bantuan surat keterangan dari dokter. aku menjawab pada lembar soal dengan mencontreng jawaban di lembar soal, lalu setelah itu pengawas ujian yang memindahkannya ke lembar jawab komputer yang tersedia. dan setiap hari selama ujian, seusai menjawab semua soal, aku jatuh pingsan atau kadang hanya sekedar jatuh dari kursi dudukku begitu saja. dan setiap hari itu pula aku dibawa ke ruang panitia untuk dipulihkan lalu diantar pulang.
hari-hari mendebarkan seolah tak mau lepas dari hidupku. aku ingin melanjutkan kuliah. tapi sudah dua kali aku ditolak dua universitas melalui jalur PMDK. aku bingung harus menempuh jalur apa? karena untuk melalui jalur test, aku takut kejadian saat UN terjadi lagi. tapi sekali lagi, semangat membara dalam diriku seolah tak pernah Tuhan izinkan untuk padam. aku pun menempuh jalur ujian masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung jurusan Psikologi, seperti cita-citaku dari kecil.
16 Juni 2009 adalah tanggal yang paling membuat jantungku berdebar tak karuan. betepa tidak? hari ini ada dua pengumuman penting yang aku nantikan. pengumuman kelulusan SMA dan hasil Ujian Masuk ke PTN yang tadi aku ceritakan.
dan aku bagai pelangi yang bersinar cerah setelah hujan membasahi bumi... aku lulus! dua-duanya! alhamdulillah... segala puji bagi Allah... betapa aku bahagia, karena jerih payahku yang terlunta-lunta dengan penyakit ini ternyata tak sia-sia. kini aku tahu, bahwa segalanya sangat mungkin bagi Allah. buktinya aku, si sakit yang menderita ini, yang kata orang tak akan mampu melakukan apa-apa lagi selain diam dan terkurung dalam penyait ini, ternyata mampu melakukannya! Allahu akbar!
penyakit ini memang telah merenggut banyak hal dari hidupku. tapi penyakit ini juga telah memberiku sebuah kado yang sangat istimewa, yaitu sebuah keyakinan, bahwa semua manusia di muka bumi ini selalu beruntung. karena kita, selalu punya Tuhan. kita punya Allah yang tak pernah tidur dan selalu menjaga kita.
hidu ini indah...
hidup ini penuh keajaiban kawan...
karena Allah Maha Segala...
Diposting oleh NiRaFi45'sbLog di 22.30 0 komentar
masih adakah?
aku selalu lupa kalau kau telah pergi
aku selalu lupa kalau aku bukan siapa-siapa bagimu
tapi hati ini seolah tak bisa berpaling
dia,atau siapapun tak pernah mampu menyingkirkanmu dari relung hati ini
masihkah ada celah
yang bisa aku susuri, lalu aku tempati seperti dahulu?
Diposting oleh NiRaFi45'sbLog di 21.55 0 komentar